Ada yang hilang saat dia pergi…
Ada yang terasa perih saat dia tak ada…
Ada yang merana saat dia lenyap…
Jiwaku hilang…
Hatiku perih…
Diriku merana…
Mengapa dia pergi tanpa kata-kata?
Mengapa dia tak ada lagi saat aku membutuhkannya?
Mengapa dia lenyap dari kehidupanku?
Aku ingin dia kembali…
Aku ingin dia ada…
Aku ingin dia tak lenyap dari duniaku…
Perkenalan di hari itu…
Cerita-cerita yang terangkai antara aku dan dia…
Masa-masa yang begitu singkat…
Sesuatu yang sulit untuk kulupakan…
Surat yang tak pernah dibalas…
Kata-kata yang menggantung di telepon…
Suara yang tak lagi kukenal…
Sosok yang asing bagiku…
Benarkah itu kamu?
Jumat, 09 April 2010
Seribu Bangau Kertas
Bangau kertas itu hadir lagi di hadapanku. Kali ini jumlahnya sepuluh buah. Di antara bangau-bangau kertas itu terselip sebuah surat tanpa nama. Lagi-lagi surat yang bertuliskan “semoga kamu suka”. Tak ada nama penulisnya. Hanya bangau-bangau kertas bisu itu yang tahu siapa yang mengirim mereka ke hadapanku.
Sudah seminggu ini aku mendapatkan bangau-bangau kertas di meja kelasku. Tak ada nama penulis dan tak ada yang tahu siapa menaruh bangau-bangau kertas itu di mejaku.
“Secret admirer lo kali!” kata Tirta sewaktu aku menceritakan tentang bangau-bangau kertas itu.
“Masa’, sih? Perasaan gw nggak populer di sekolah,” kataku tak yakin.
Memang benar, aku bukan termasuk kategori cewek populer di sekolahku. Aku hanya seorang anggota PMR yang menjadi sukarelawan atau perawat saat ada yang sakit. Mana mungkin aku punya secret admirer?
“Bisa aja dari salah seorang yang pernah lo tolong,” kata Tirta berusaha meyakinkan.
Aku mulai mengingat-ingat siapa saja yang pernah kuobati sewaktu terluka. Adam. Cowok sinis itu yang pertama kali terlintas dalam benakku. Sewaktu dia terluka saat pertandingan futsal, akulah yang merawatnya. Namun, itu tidak mungkin karena, dia sangat membenci cewek.
Chris. Cowok yang hobi membuat percobaan di laboraturium sekolah. Sewaktu dia terkena luka baker, aku yang mengobatinya. Aku langsung geleng-geleng kepala sendiri. Mana mungkin cewek yang tidak suka pelajaran Kimia sepertiku masuk dalam daftar cewek yang disukai Chris?
Theo. Cowok keren yang sangat hebat dalam bermain gitar. Waktu dia tersengat aliran listrik, akulah yang menolongnya. Namun, dia langsung kucoret dari daftar cowok yang kuharap menjadi secret admirerku. Cowok playboy seperti dia? Haah…jangan sampai, deh!
Selain mereka bertiga masih banyak lagi cowok-cowok yang pernah kutolong dan kuobati sewaktu mereka terluka, tapi mereka semua tidak mungkin menjadi secret admirerku. Mereka semua sudah punya pacar masing-masing.
Haah…aku pun semakin bingung dan bertanya-tanya : mungkinkah bangau-bangau kertas itu pemberian seorang secret admirer?
***
Sekali lagi sepuluh bangau kertas tergeletak di mejaku. Kali ini terselip kelopak-kelopak bunga mawar di dalamnya. Aku tak habis pikir, siapa yang rela menghabiskan waktunya untuk membuat begitu banyak bangau kertas ini? Lalu apa pula maksud pengirimnya menyelipkan kelopak bunga mawar kali ini? Aroma mawar yang menyengat membuat kepalaku jadi pusing. Aku tak pernah cocok dengan wangi bunga yang satu ini.
“Bangau kertas lagi?” tegur Tirta.
Aku mengangguk. Dengan malas kumasukkan bangau-bangau kertas itu ke dalam tasku.
“Siapa, sih sebenarnya yang ngasih bangau-bangau kertas ini?” gerutuku.
“Kok lo kayaknya nggak suka gitu?” tanya Tirta bingung.
“Ya iyalah! Siapa juga yang nggak kesal kalau dikirimin kayak barang begini tanpa nama?” kataku sewot.
“Bukannya terasa romantis dikirimin kayak beginian?” tanya Tirta.
“Hah?? Romantis apaan! Yang ada juga gw berasa mau dipelet! Mana pake bunga mawar segala, baunya bikin kepala gw pusing!” sambarku ketus.
“Terus, hal yang menurut lo romantis apaan?” tanya Tirta.
Aku pun mencoba memikirkan hal apa yang kuanggap romantis. “Puisi,” kataku pelan.
Tirta terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tampak begitu serius menanggapi perkataanku. Keningnya mengernyit tanda ia sedang berpikir.
“Jadi lo suka puisi,” gumamnya pelan.
Aku pun menatap heran dirinya. “Lo kenapa?” tanyaku bingung.
Tirta hanya cengar-cengir mendengar pertanyaanku kemudian pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia ada kaitannya dengan pengirim bangau-bangau kertas ini.
***
Bangau kertas itu kembali muncul di hadapanku, tapi kali ini terdapat puisi di antara bangau-bangau kertas itu. Aku jadi curiga pada Tirta karena, kemarin dia yang bertanya tentang hal yang kuanggap romantis dan kujawab puisi. Ditambah lagi hari ini cowok kurus itu tidak masuk sekolah, aku pun semakin curiga padanya. Apa maksudnya dia mengirimiku bangau-bangau kertas ini?
***
“Ada cowok nyariin lo, tuh!” kata Kak Teguh, kakakku.
“Hah? Nggak salah? Ada cowok yang nyariin gw?” tanyaku tak yakin.
“Orang jelas-jelas dia nanyain ‘bisa ketemu Keisha?’ Ya udah pastilah dia nyariin elo!” kata Kak Teguh agak kesal.
Dengan rasa penasaran sekaligus bingung, aku pun menghampiri cowok yang dikatakan Kak Teguh itu di ruang tamu. Aku menduga yang datang adalah Tirta, tapi Kak Teguh kenal dengan Tirta, jadi seharusnya dia tinggal bilang kalau yang datang adalah Tirta. Namun, Kak Teguh tak menyebutkan siapa cowok yang datang ini, berarti dia tidak kenal dengan cowok ini. Aku masih terus memikirkan siapa sebenarnya sosok cowok yang datang mencariku ini hingga aku melihat dirinya di ruang tamu. Bibirku tak sanggup berkata-kata. Ini bukan mimpi, kan? Yang datang mencariku adalah A-D-A-M, ADAM! Yang benar saja!
“A…A…Adam?” tegurku terkejut.
“Ada yang perlu gw certain ke elo,” katanya sambil bangkit dari duduknya.
“Soal apa?” tanyaku bingung.
“Ngg…gw mau jujur sama lo, yang ngasih lo bangau kertas pake kelopak bunga mawar itu gw,” cerita Adam lancar.
“HAAH??” teriakku tak percaya.
Yang benar saja! Adam yang mengirimiku bangau kertas dengan kelopak bunga mawar? Ini pasti mimpi! Padahal aku sudah menduga-duga kalau yang mengirimiku bangau-bangau kertas itu adalah Tirta.
“Jadi, lo juga yang ngirimin gw bangau kertas pake surat dan puisi?” tanyaku lagi.
Adam menggelengkan kepalanya. “Bukan, kalau yang itu bukan gw yang ngirimin.”
Bukan Adam yang mengirimkannya? Lalu siapa? Apa Adam tahu siapa yang mengirimkannya untukku?
“Maksud lo ada orang lain yang juga ngirimin bangau-bangau kertas itu?” tanyaku penasaran.
Adam hanya tersenyum sambil berkata, “Ntar lo bakal lo tahu.” Kemudian dia pun pamit pulang, meninggalkanku yang masih terpaku dan penasaran siapa yang juga mengirimkan bangau-bangau kertas itu selain dirinya.
***
Kelas sudah sepi. Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari tadi. Aku masih sibuk membersihkan kelas. Tugas piket harian ini tak bisa kutolak. Sialnya hanya aku yang piket. Tirta sudah melarikan diri sebelum aku sempat menegurnya, padahal aku juga berniat bertanya tentang pengirim bangau-bangau kertas padanya. Namun, tampaknya dia dapat memprediksi bahwa aku akan bertanya padanya sehingga dia langsung kabur begitu bel berbunyi. Vanya, Adit, dan Inez pun langsung berlari keluar kelas sebelum aku sempat memanggil mereka. Sudah dapat dipastikan mereka menghampiri kelas pacar mereka masing-masing dan memilih pergi bersama pacar masing-masing daripada membersihkan kelas bersamaku. Sebenarnya aku pun sudah berniat keluar kelas untuk mengejar Tirta dan bertanya padanya, tapi Bu Maryam telah berdeham saat aku hendak pergi keluar kelas. Dia memanggil nama lengkapku dan bertanya hendak ke mana diriku serta mengingatkan bahwa aku harus piket. Alasan untuk memanggil teman-temanku yang kabur tidak piket juga tak berhasil melepaskanku dari suruhan Bu Maryam untuk tetap di kelas dan mengerjakan tugas piketku. Jadilah diriku yang jomblo dan tak bisa melarikan diri dari pengawasan Bu Maryam ini membersihkan kelas seorang diri sambil memikirkan cara balas dendam kepada teman-temanku yang kabur piket itu. Selain itu aku juga memikirkan bagaimana caranya untuk menangkap Tirta dan meminta penjelasan darinya perihal bangau-bangau kertas itu.
Setelah mengerjakan tugas piket dan mendapatkan tanda dari Bu Maryam bahwa kelas terlihat bersih di matanya, barulah aku bisa pergi meninggalkan kelas. Aku pun merogoh saku kemejaku dan mengambil handphoneku untuk menelepon Tirta. Namun, ternyata dia menonaktifkan handphonenya. Haah…Aku berusaha mencari ide bagaimana agar bisa bertanya pada Tirta hingga tak kusadari aku telah berjalan kembali ke dalam kelas. Kucoba mencari petunjuk di laci meja Tirta, siapa tahu dia meninggalkan sebuah bangau kertas yang bisa kujadikan barang bukti, tapi ternyata tidak. Aku pun jadi ragu apakah Tirta—selain Adam tentunya—yang mengirimkan bangau-bangau kertas itu. Apakah orang lain yang mengirimkannya? Sambil menghela napas, aku pun duduk bertopang dagu di kursi Tirta. Rasanya aku memang tak akan menemukan jawabannya hingga aku bertemu dengan Tirta dan menanyakan langsung padanya.
Tiba-tiba saja Chris dan Theo masuk ke dalam kelasku. Aku pun mengernyit tanda keheranan. Mau apa mereka?
“Hei, Sha!” tegur Theo sambil mengeluarkan senyum mautnya yang biasanya membuat para cewek di sekolahku terpesona—yang sayangnya tidak mempan padaku.
Chris berjalan di sampingnya dan juga ikut tersenyum padaku. Aku pun memandang heran tanpa menjawab sapaan Theo barusan.
“Ngapain lo berdua di sini?” tanyaku bingung.
Mereka berdua pun duduk di hadapanku. Bulu kudukku langsung terasa merinding, apalagi Theo memandangku dengan jahil. Sepertinya akan terjadi hal yang tidak menyenangkan padaku nanti.
“Lo pasti lagi penasaran soal bangau-bangau kertas, deh,” kata Theo sambil duduk bertopang dagu di hadapanku.
Mataku membesar mendengar perkataannya. “Kok lo bisa tahu?”
Theo kembali tersenyum, kali ini bahkan senyumannya lebih lebar. Aku semakin merinding dibuatnya.
“Sebenarnya gw, Chris, dan Adam yang ngasih bangau-bangau kertas itu,” kata Theo.
Aku membelalakkan mata mendengar perkataan Theo. Yang benar saja! Jadi ini yang dimaksud Adam kemarin? Chris dan Theo yang mengirimkan bangau-bangau kertas itu selain dirinya? Mimpi apa aku semalam?
“Kita bertiga gantian ngasih lo bangau-bangau kertas itu,” tambah Chris.
“Hah??” kataku tak percaya.
Theo menganggukkan kepalanya. “Gw yang ngasih bangau kertas pake puisi, Chris yang ngasih bangau kertas pake surat, Adam yang ngasih bangau kertas pake kelopak bunga mawar.”
Aku berusaha mencerna semua yang dikatakan Theo dan Chris. Ini sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Untuk apa mereka bertiga memberiku bangau kertas?
“Kenapa lo bertiga ngasih bangau kertas buat gw?” tanyaku sambil memegang kepalaku yang kurasa mulai pusing karena masalah ini.
“Cuma sebagai tanda terima kasih,” jawab Chris.
“Kenapa bangau kertas?” tanyaku lagi.
“Bukannya lo suka bangau kertas?” tanya Chris balik.
Aku menoleh tak percaya padanya. Sejak kapan aku suka dengan bangau kertas?
“Lo pada tahu dari mana gw suka bangau kertas?” tanyaku bingung.
“Tirta,” jawab Chris dan Theo bersamaan.
Aku melongo mendengar jawaban mereka. Tirta tahu dari mana aku suka bangau kertas? Perasaan aku tidak pernah bilang kalau aku suka benda-benda origami seperti itu.
“Katanya Tirta lo pingin ngumpulin seribu bangau kertas buat ngabulin permintaan lo,” lanjut Theo.
“Jadi kita patungan bikin bangau kertas buat lo, itung-itung balas budi karena lo dah pernah nolongin kita,” sambung Chris.
Cerita seperti apa itu? Sejak kapan aku pernah bilang aku menginginkan bangau kertas untuk mengabulkan permohonanku? Seingatku aku membuat banyak bangau kertas hanya untuk kujadikan tirai jendela kamarku. Mengapa Tirta bisa berpikiran kalau aku menginginkan seribu bangau kertas untuk mengabulkan permohonanku?
“Ternyata lo manis dan polos, ya?” kata Theo sambil bangkit dari duduknya dan perlahan mendekatiku.
Aku menggeser dudukku menjauhi dirinya. Namun, tiba-tiba Chris sudah berada di sisi tempat aku bergeser.
“Kemarin Adam pasti udah ngaku kan ke elo?” kata Chris sambil duduk di sebelahku.
“Yah, berhubung dia lagi nggak mau berhubungan ama cewek, berarti pilihan lo tinggal gw atau Chris,” sambung Theo.
“Hah? Maksud lo apaan, nih?” tanyaku takut-takut.
“Udah jelas, kan? Lo harus milih antara gw atau Theo buat jadi cowok lo,” kata Chris sambil tersenyum mengejek.
Rasanya aku ingin kabur saat mendengar perkataan Chris, tapi sialnya mereka berdua duduk di kedua sisiku. Aku tak punya peluang untuk keluar dari kepungan mereka berdua. Aku sibuk mencari ide hingga akhirnya aku melihat ke jendela kelas dan terlihatlah sosok Tirta dengan pandangan minta maafnya.
“Tirta!!” jeritku.
Namun, Tirta langsung berlari pergi begitu mendengar jeritanku. Tinggallah aku dengan kedua cowok yang sedang mengerubungiku ini.
“Jadi, lo pilih siapa?” tanya Theo.
Wajahku pucat. Rasanya aku akan menghajar Tirta nanti…***
Sudah seminggu ini aku mendapatkan bangau-bangau kertas di meja kelasku. Tak ada nama penulis dan tak ada yang tahu siapa menaruh bangau-bangau kertas itu di mejaku.
“Secret admirer lo kali!” kata Tirta sewaktu aku menceritakan tentang bangau-bangau kertas itu.
“Masa’, sih? Perasaan gw nggak populer di sekolah,” kataku tak yakin.
Memang benar, aku bukan termasuk kategori cewek populer di sekolahku. Aku hanya seorang anggota PMR yang menjadi sukarelawan atau perawat saat ada yang sakit. Mana mungkin aku punya secret admirer?
“Bisa aja dari salah seorang yang pernah lo tolong,” kata Tirta berusaha meyakinkan.
Aku mulai mengingat-ingat siapa saja yang pernah kuobati sewaktu terluka. Adam. Cowok sinis itu yang pertama kali terlintas dalam benakku. Sewaktu dia terluka saat pertandingan futsal, akulah yang merawatnya. Namun, itu tidak mungkin karena, dia sangat membenci cewek.
Chris. Cowok yang hobi membuat percobaan di laboraturium sekolah. Sewaktu dia terkena luka baker, aku yang mengobatinya. Aku langsung geleng-geleng kepala sendiri. Mana mungkin cewek yang tidak suka pelajaran Kimia sepertiku masuk dalam daftar cewek yang disukai Chris?
Theo. Cowok keren yang sangat hebat dalam bermain gitar. Waktu dia tersengat aliran listrik, akulah yang menolongnya. Namun, dia langsung kucoret dari daftar cowok yang kuharap menjadi secret admirerku. Cowok playboy seperti dia? Haah…jangan sampai, deh!
Selain mereka bertiga masih banyak lagi cowok-cowok yang pernah kutolong dan kuobati sewaktu mereka terluka, tapi mereka semua tidak mungkin menjadi secret admirerku. Mereka semua sudah punya pacar masing-masing.
Haah…aku pun semakin bingung dan bertanya-tanya : mungkinkah bangau-bangau kertas itu pemberian seorang secret admirer?
***
Sekali lagi sepuluh bangau kertas tergeletak di mejaku. Kali ini terselip kelopak-kelopak bunga mawar di dalamnya. Aku tak habis pikir, siapa yang rela menghabiskan waktunya untuk membuat begitu banyak bangau kertas ini? Lalu apa pula maksud pengirimnya menyelipkan kelopak bunga mawar kali ini? Aroma mawar yang menyengat membuat kepalaku jadi pusing. Aku tak pernah cocok dengan wangi bunga yang satu ini.
“Bangau kertas lagi?” tegur Tirta.
Aku mengangguk. Dengan malas kumasukkan bangau-bangau kertas itu ke dalam tasku.
“Siapa, sih sebenarnya yang ngasih bangau-bangau kertas ini?” gerutuku.
“Kok lo kayaknya nggak suka gitu?” tanya Tirta bingung.
“Ya iyalah! Siapa juga yang nggak kesal kalau dikirimin kayak barang begini tanpa nama?” kataku sewot.
“Bukannya terasa romantis dikirimin kayak beginian?” tanya Tirta.
“Hah?? Romantis apaan! Yang ada juga gw berasa mau dipelet! Mana pake bunga mawar segala, baunya bikin kepala gw pusing!” sambarku ketus.
“Terus, hal yang menurut lo romantis apaan?” tanya Tirta.
Aku pun mencoba memikirkan hal apa yang kuanggap romantis. “Puisi,” kataku pelan.
Tirta terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tampak begitu serius menanggapi perkataanku. Keningnya mengernyit tanda ia sedang berpikir.
“Jadi lo suka puisi,” gumamnya pelan.
Aku pun menatap heran dirinya. “Lo kenapa?” tanyaku bingung.
Tirta hanya cengar-cengir mendengar pertanyaanku kemudian pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia ada kaitannya dengan pengirim bangau-bangau kertas ini.
***
Bangau kertas itu kembali muncul di hadapanku, tapi kali ini terdapat puisi di antara bangau-bangau kertas itu. Aku jadi curiga pada Tirta karena, kemarin dia yang bertanya tentang hal yang kuanggap romantis dan kujawab puisi. Ditambah lagi hari ini cowok kurus itu tidak masuk sekolah, aku pun semakin curiga padanya. Apa maksudnya dia mengirimiku bangau-bangau kertas ini?
***
“Ada cowok nyariin lo, tuh!” kata Kak Teguh, kakakku.
“Hah? Nggak salah? Ada cowok yang nyariin gw?” tanyaku tak yakin.
“Orang jelas-jelas dia nanyain ‘bisa ketemu Keisha?’ Ya udah pastilah dia nyariin elo!” kata Kak Teguh agak kesal.
Dengan rasa penasaran sekaligus bingung, aku pun menghampiri cowok yang dikatakan Kak Teguh itu di ruang tamu. Aku menduga yang datang adalah Tirta, tapi Kak Teguh kenal dengan Tirta, jadi seharusnya dia tinggal bilang kalau yang datang adalah Tirta. Namun, Kak Teguh tak menyebutkan siapa cowok yang datang ini, berarti dia tidak kenal dengan cowok ini. Aku masih terus memikirkan siapa sebenarnya sosok cowok yang datang mencariku ini hingga aku melihat dirinya di ruang tamu. Bibirku tak sanggup berkata-kata. Ini bukan mimpi, kan? Yang datang mencariku adalah A-D-A-M, ADAM! Yang benar saja!
“A…A…Adam?” tegurku terkejut.
“Ada yang perlu gw certain ke elo,” katanya sambil bangkit dari duduknya.
“Soal apa?” tanyaku bingung.
“Ngg…gw mau jujur sama lo, yang ngasih lo bangau kertas pake kelopak bunga mawar itu gw,” cerita Adam lancar.
“HAAH??” teriakku tak percaya.
Yang benar saja! Adam yang mengirimiku bangau kertas dengan kelopak bunga mawar? Ini pasti mimpi! Padahal aku sudah menduga-duga kalau yang mengirimiku bangau-bangau kertas itu adalah Tirta.
“Jadi, lo juga yang ngirimin gw bangau kertas pake surat dan puisi?” tanyaku lagi.
Adam menggelengkan kepalanya. “Bukan, kalau yang itu bukan gw yang ngirimin.”
Bukan Adam yang mengirimkannya? Lalu siapa? Apa Adam tahu siapa yang mengirimkannya untukku?
“Maksud lo ada orang lain yang juga ngirimin bangau-bangau kertas itu?” tanyaku penasaran.
Adam hanya tersenyum sambil berkata, “Ntar lo bakal lo tahu.” Kemudian dia pun pamit pulang, meninggalkanku yang masih terpaku dan penasaran siapa yang juga mengirimkan bangau-bangau kertas itu selain dirinya.
***
Kelas sudah sepi. Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari tadi. Aku masih sibuk membersihkan kelas. Tugas piket harian ini tak bisa kutolak. Sialnya hanya aku yang piket. Tirta sudah melarikan diri sebelum aku sempat menegurnya, padahal aku juga berniat bertanya tentang pengirim bangau-bangau kertas padanya. Namun, tampaknya dia dapat memprediksi bahwa aku akan bertanya padanya sehingga dia langsung kabur begitu bel berbunyi. Vanya, Adit, dan Inez pun langsung berlari keluar kelas sebelum aku sempat memanggil mereka. Sudah dapat dipastikan mereka menghampiri kelas pacar mereka masing-masing dan memilih pergi bersama pacar masing-masing daripada membersihkan kelas bersamaku. Sebenarnya aku pun sudah berniat keluar kelas untuk mengejar Tirta dan bertanya padanya, tapi Bu Maryam telah berdeham saat aku hendak pergi keluar kelas. Dia memanggil nama lengkapku dan bertanya hendak ke mana diriku serta mengingatkan bahwa aku harus piket. Alasan untuk memanggil teman-temanku yang kabur tidak piket juga tak berhasil melepaskanku dari suruhan Bu Maryam untuk tetap di kelas dan mengerjakan tugas piketku. Jadilah diriku yang jomblo dan tak bisa melarikan diri dari pengawasan Bu Maryam ini membersihkan kelas seorang diri sambil memikirkan cara balas dendam kepada teman-temanku yang kabur piket itu. Selain itu aku juga memikirkan bagaimana caranya untuk menangkap Tirta dan meminta penjelasan darinya perihal bangau-bangau kertas itu.
Setelah mengerjakan tugas piket dan mendapatkan tanda dari Bu Maryam bahwa kelas terlihat bersih di matanya, barulah aku bisa pergi meninggalkan kelas. Aku pun merogoh saku kemejaku dan mengambil handphoneku untuk menelepon Tirta. Namun, ternyata dia menonaktifkan handphonenya. Haah…Aku berusaha mencari ide bagaimana agar bisa bertanya pada Tirta hingga tak kusadari aku telah berjalan kembali ke dalam kelas. Kucoba mencari petunjuk di laci meja Tirta, siapa tahu dia meninggalkan sebuah bangau kertas yang bisa kujadikan barang bukti, tapi ternyata tidak. Aku pun jadi ragu apakah Tirta—selain Adam tentunya—yang mengirimkan bangau-bangau kertas itu. Apakah orang lain yang mengirimkannya? Sambil menghela napas, aku pun duduk bertopang dagu di kursi Tirta. Rasanya aku memang tak akan menemukan jawabannya hingga aku bertemu dengan Tirta dan menanyakan langsung padanya.
Tiba-tiba saja Chris dan Theo masuk ke dalam kelasku. Aku pun mengernyit tanda keheranan. Mau apa mereka?
“Hei, Sha!” tegur Theo sambil mengeluarkan senyum mautnya yang biasanya membuat para cewek di sekolahku terpesona—yang sayangnya tidak mempan padaku.
Chris berjalan di sampingnya dan juga ikut tersenyum padaku. Aku pun memandang heran tanpa menjawab sapaan Theo barusan.
“Ngapain lo berdua di sini?” tanyaku bingung.
Mereka berdua pun duduk di hadapanku. Bulu kudukku langsung terasa merinding, apalagi Theo memandangku dengan jahil. Sepertinya akan terjadi hal yang tidak menyenangkan padaku nanti.
“Lo pasti lagi penasaran soal bangau-bangau kertas, deh,” kata Theo sambil duduk bertopang dagu di hadapanku.
Mataku membesar mendengar perkataannya. “Kok lo bisa tahu?”
Theo kembali tersenyum, kali ini bahkan senyumannya lebih lebar. Aku semakin merinding dibuatnya.
“Sebenarnya gw, Chris, dan Adam yang ngasih bangau-bangau kertas itu,” kata Theo.
Aku membelalakkan mata mendengar perkataan Theo. Yang benar saja! Jadi ini yang dimaksud Adam kemarin? Chris dan Theo yang mengirimkan bangau-bangau kertas itu selain dirinya? Mimpi apa aku semalam?
“Kita bertiga gantian ngasih lo bangau-bangau kertas itu,” tambah Chris.
“Hah??” kataku tak percaya.
Theo menganggukkan kepalanya. “Gw yang ngasih bangau kertas pake puisi, Chris yang ngasih bangau kertas pake surat, Adam yang ngasih bangau kertas pake kelopak bunga mawar.”
Aku berusaha mencerna semua yang dikatakan Theo dan Chris. Ini sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Untuk apa mereka bertiga memberiku bangau kertas?
“Kenapa lo bertiga ngasih bangau kertas buat gw?” tanyaku sambil memegang kepalaku yang kurasa mulai pusing karena masalah ini.
“Cuma sebagai tanda terima kasih,” jawab Chris.
“Kenapa bangau kertas?” tanyaku lagi.
“Bukannya lo suka bangau kertas?” tanya Chris balik.
Aku menoleh tak percaya padanya. Sejak kapan aku suka dengan bangau kertas?
“Lo pada tahu dari mana gw suka bangau kertas?” tanyaku bingung.
“Tirta,” jawab Chris dan Theo bersamaan.
Aku melongo mendengar jawaban mereka. Tirta tahu dari mana aku suka bangau kertas? Perasaan aku tidak pernah bilang kalau aku suka benda-benda origami seperti itu.
“Katanya Tirta lo pingin ngumpulin seribu bangau kertas buat ngabulin permintaan lo,” lanjut Theo.
“Jadi kita patungan bikin bangau kertas buat lo, itung-itung balas budi karena lo dah pernah nolongin kita,” sambung Chris.
Cerita seperti apa itu? Sejak kapan aku pernah bilang aku menginginkan bangau kertas untuk mengabulkan permohonanku? Seingatku aku membuat banyak bangau kertas hanya untuk kujadikan tirai jendela kamarku. Mengapa Tirta bisa berpikiran kalau aku menginginkan seribu bangau kertas untuk mengabulkan permohonanku?
“Ternyata lo manis dan polos, ya?” kata Theo sambil bangkit dari duduknya dan perlahan mendekatiku.
Aku menggeser dudukku menjauhi dirinya. Namun, tiba-tiba Chris sudah berada di sisi tempat aku bergeser.
“Kemarin Adam pasti udah ngaku kan ke elo?” kata Chris sambil duduk di sebelahku.
“Yah, berhubung dia lagi nggak mau berhubungan ama cewek, berarti pilihan lo tinggal gw atau Chris,” sambung Theo.
“Hah? Maksud lo apaan, nih?” tanyaku takut-takut.
“Udah jelas, kan? Lo harus milih antara gw atau Theo buat jadi cowok lo,” kata Chris sambil tersenyum mengejek.
Rasanya aku ingin kabur saat mendengar perkataan Chris, tapi sialnya mereka berdua duduk di kedua sisiku. Aku tak punya peluang untuk keluar dari kepungan mereka berdua. Aku sibuk mencari ide hingga akhirnya aku melihat ke jendela kelas dan terlihatlah sosok Tirta dengan pandangan minta maafnya.
“Tirta!!” jeritku.
Namun, Tirta langsung berlari pergi begitu mendengar jeritanku. Tinggallah aku dengan kedua cowok yang sedang mengerubungiku ini.
“Jadi, lo pilih siapa?” tanya Theo.
Wajahku pucat. Rasanya aku akan menghajar Tirta nanti…***
Langganan:
Komentar (Atom)